Resiliensi adalah suatu hal penting untuk kesehatan mental semua orang termasuk untuk anak-anak.
Tapi, apa sebenarnya resiliensi itu? APA (American Psychological Association) menyatakan resiliensi adalah kemampuan untuk bisa beradaptasi dan bangkit kembali dengan baik dari tantangan atau kesulitan.
Resiliensi lebih banyak terbentuk dari lingkungan sehingga perlu dilatih dan diasah.
Orang tua tentu saja berperan besar dalam mengasah sifat resilien anak karena anak-anak dengan sifat resilien yang baik akan lebih mudah mengelola stress, sebuah respon umum dari hal-hal sulit yang dialami.
Selain itu masih ada banyak manfaat lain yang muncul pada anak-anak yang resilien.

Manfaat Resiliensi Pada Anak-anak

1. Membantu anak mengantisipasi masalah & memudahkan mengenali peluang.
Setiap anak tentu akan menemui masalah-masalah tersendiri. Mereka yang memiliki resiliensi akan mampu untuk mengantisipasi dan mencari strategi untuk mendapatkan solusi, terutama jika berhadapan dengan masalah serupa yang pernah mereka alami. Apa yang bisa orang tua lakukan? Ajak mereka berdiskusi tentang masalah-masalah yang bisa mereka hadapi sebelum menjelaskan tentang cara menyelesaikannya. Tanyakan apa yang akan dia lakukan jika dia menghadapi suatu masalah hal-hal apa yang bisa dilakukan agar dapat menghindarinya.
Misalnya orang tua bisa bertanya “Apa yang akan kamu lakukan jika lupa membawa buku PR?
Apa yang kana kamu lakukan jika tidak ada orang rumah yang bisa mengirimkan buku PR ke sekolah?”
Lalu minta anak untuk mencari strategi agar bisa mengantisipasi masalah itu,
“Apa yang bisa kamu lakukan agar buku PR tidak tertinggal?”

2. Membantu dalam pengelolaan emosi & stress.
Memiliki resiliensi bukanlah kemampuan untuk selalu merasa bahagia. Sifat resilien berarti mampu mengelola dan menghadapi emosi secara sehat dan positif. Orang tua berperan penting dalam membantu anak mengenali, mengartikulasi, merespon dan mengelola emosi.

Apa yang bisa orang tua lakukan?
Daripada bertanya pertanyaan yang terlalu general seperti “Kamu kenapa?” ubah pertanyaan Parents menjadi
“Apa hal terbaik yang terjadi hari ini? Apa hal paling menyebalkan yang kamu alami hari ini?”
Orang tua perlu lebih dulu mengenalkan emosi-emosi pada anak dengan cara mengartikulasinya (menyebutkan)
karena anak-anak masih sering tidak bisa mengenali dan melabeli emosi mereka sehingga pertanyaan seperti “Kamu kenapa?” akan lebih mudah dijawab dengan “Tidak tahu.”
Parents juga perlu menjelaskan bahwa setiap emosi itu valid. Jika anak sedang merasa marah, biarkan mereka tahu
bahwa orang tua memahami “Mama lihat kamu marah, tidak apa-apa kalau mau menangis.”
Setelah mereka lebih tenang, baru ajak diskusi soal perasaan mereka.
Penting bagi anak untuk bisa mengidentifikasi emosi dan reaksi mereka terhadapa berbagai macam situasi.

3. Menjadi pondasi hidup yang sehat & bahagia.
Mampu meregulasi emosi adalah manfaat besar dalam memiliki sifat resilien. Anak akan mempunyai emosi yang sehat dan tentu kesehatan mental yang baik pula.

Apa yang bisa orang tua lakukan?
Tunjukan pada anak bagaimana orang tua mengelola emosi dengan baik dengan mencontohkan bagaimana melakukan ‘healthy thinking’. ‘Healthy thinking’ adalah melihat kehidupan secara seimbang. Dari ‘healthy thinking’, anak akan tahu bahwa pikiran mereka mempengaruhi setiap masalah dan perasaan di kehidupan sehari-hari. Dengan berlatih, anak kelak bisa memikirkan pikiran-pikiran yang bersifat suportif daripada negatif.
Orang tua bisa berpikir dan disaat bersamaan menyampaikannya secara verbal ketika menghadapi suatu masalah.
Anak akan melihat dan mendengar proses ‘problem-solving’ secara langsung dan belajar bahwa mencari solusi bisa dilakukan secara tenang.

4. Mendorong anak untuk mencapai cita-cita dan impian.
Memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk terus berjuang juga bagian dari resiliensi. Sifat ini tentu akan sangat berguna dalam kehidupan anak kedepannya sehingga mereka bisa meraih ‘goal’ mereka.

Apa yang bisa orang tua lakukan?
Ajarkan pada anak untuk berani mencoba segala hal dari usia dini.
Anak-anak belajar dari proses ‘trial & error’ dan penting bagi pertumbuhan mental mereka untuk belajar bagaimana
bertoleransi jika mereka mengalami kegagalan. Bila mereka tidak belajar cara mentolerir kegagalan, mereka bisa menjadi cepat putus asa dan tentu saja kesulitan mencapai tujuan mereka.

Mengajarkan sifat resilien pada anak memang bukan hal yang instan, maka lebih baik dimulai sedini mungkin.
Namun, tidak ada kata terlambat untuk mengajarkan juga pada anak-anak yang sudah lebih besar. Mulai dengan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdiskusi dengan anak. Tanyakan tentang tantangan-tantangan yang mereka hadapi juga mengenai perasaan-perasaan mereka setiap harinya.